Hening tidak pernah jadi seriuh ini diantara mereka sebelumnya. Baik Diandra maupun Kendra bukan tipikal orang yang akan membiarkan senyap menggantung lama di udara. Mereka selalu punya cerita yang tak akan habis dibagi berdua. Candaan serta gelak tawa selalu jadi melodi yang tak pernah hilang dari telinga.
Tapi sepertinya, malam ini berbeda.
Menit demi menit berlalu, tetapi lidah mereka masih sama-sama kelu, seolah tidak ada satu pun kosakata yang akan keluar membantu. Meski kini mereka sedang bersisian di teras balkon apartemen Diandra yang sudah menjadi markas mereka sejak dulu, keduanya malah sibuk diam membatu.
Yang melihat mungkin mengira kalau mereka hanya sedang menghabiskan waktu berdua, menikmati angin malam yang mulai membawa anak rambut masing-masing berdansa. Tapi sebenarnya di balik semua itu, ada pelik yang mereka coba selesaikan masing-masing di dalam kepala. Memenuhi semua rongga, mendesak mereka menuju rasa sesak di dada yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Mereka bukan sedang menghabiskan waktu.
Justru sekarang mereka telah kehabisan waktu.
Seandainya mereka mampu meminta sedikit kompensasi dan memaksa bersama sedikit lebih lama lagi.
Seandainya dari awal mereka tidak perlu susah payah memikirkan konsekuensi dari saling mencintai.
Mungkin hening ini tak akan jadi jalan untuk perih mulai menguasai diri.
“I thought we can last a little longer than i expected.”
“I was thinking the same too.” Diandra menyembunyikan jemarinya di balik lengan sweater yang ia kenakan, “Cepet banget, ya. Perasaan baru kemarin kita maksain buat ambil resiko sama-sama.” Kendra melihat senyum yang tersungging di bibir sang kekasih, manis, namun siapapun tau kalau senyum itu menyimpan sebuah pilu.
“Lo jangan ngeliatin gue kayak gitu, ah! Kita kan udah janji buat nggak sedih-sedihan kalau malam ini akhirnya dateng!”
“Siapa yang sedih, dih! Lo tuh, mukanya udah kayak mau nangis.” Lelaki itu mengusap rambut Diandra gemas, “Cel, nanti kalo lo udah nemu pengganti gue, jangan lupa kenalin ke gue, ya?” Kendra mendapat pukulan di bahu sebagai balasan karena Diandra kesal lelaki itu kembali memanggilnya dengan panggilan kesukaan Kendra yaitu ‘boncel’.
“Jangan panggil gue boncel bisa gak?! Lagian ngapain gue harus ngenalin dia ke lo?”
Lelaki itu menjawab sambil mengusap bahu, “Ya gue mau nanya aja sih ke dia, kok bisa naksir bonsai bawel, berisik, brutal kayak lo — Aduh! Aduh! Stop, Di! Sakit! Iya-iya maaf gue bercanda! Aduh!”
Diandra masih melanjutkan aksi memukulnya kala dirasa belum puas, “Candaan lo. Gak. Lucu!” Gadis itu memberikan pukulan keras terakhir, membuat lelaki itu kembali mengaduh sambil melindungi dan mengusap bagian yang baru saja ditinju.
“Sakit anjir!” Lelaki itu menyambung kalimatnya, kali ini menunjukkan setitik keseriusan di wajahnya, “Tapi gue serius.”
“Apa?”
“Kenalin pacar lo nanti ke gue.”
Diandra mengalihkan pandangannya ke arah langit malam, “Kayak yang gue bakal cepet move on aja.”
Kendra tersenyum simpul, meski tak tepat baginya sekarang untuk tersipu karena perpisahan sudah menyapa di ambang pintu.
“Harus bisa, Di.”
“No, lo gak bisa maksa gue tentang yang satu ini.” Kendra diam, tau memang melupakan satu sama lain juga butuh banyak waktu. Mungkin dirinya juga akan begitu.
“Tapi gue janji, gue bakal ngenalin dia ke lo.. so do you.”
Kekehan lelaki itu mengisi ruang udara diantara mereka. “Will do, tapi sama kayak lo, mungkin butuh waktu panjaaaang banget buat itu kejadian.”
“Inget, jangan cari yang pureblood keturunan jawa, jangan juga nyari cewek yang cita-citanya cuma pengen jadi guru juga. Ntar ai ai lo pada marah lagi.” Diandra tersenyum, menatap nanar pada gedung-gedung pencakar langit di hadapannya.
“Sama jangan cari yang agamanya beda.” Ucapnya lirih, namun masih terdengar di telinga Kendra. Terkadang lelaki itu lupa bahwa sebanyak apapun hal yang membuat mereka tak bisa bersama, dinding kokoh yang membatasi mereka ini lah yang sebenarnya menjadi masalah utamanya
Keputusannya dari awal hanya ada satu,
Sebuah perpisahan.
Tidak ada yang lain.
“Kendra, kita udahan sampai disini aja, ya?” Sungguh Ken benci kalimat itu. Ia benci ketika kalimat itu terucap dari seseorang yang mau ia habiskan sisa hidupnya bersama. Bagi Kendra hanya Diandra-lah perempuan yang tepat untuknya. Perempuan yang selalu mengerti tanpa pernah menghakimi, perempuan periang dengan cita-cita yang matang, perempuan yang selama ini Kendra impikan — semua itu ada pada gadisnya, ada pada Diandranya.
Tetapi ketika garis takdir sama sekali tidak merestui hubungan mereka. Lamtas Kendra dan Diandra yang tidak punya daya ini bisa apa?
“Gue nggak pernah nyesel ambil keputusan ini, Di. Asal lo tau.” Kendra meraih tangan gadis itu dalam genggamannya, “Gue sama sekali nggak pernah nyesel pernah pacaran sama cewek sebaik lo. And i meant it.”
“It’s just pity that we actually could work together but the fate didn’t let us do it.” Mereka kini saling menghadap ke arah satu sama lain. Sama-sama menahan luka, sama-sama mencegah air mata keluar dari tempatnya. Karena mereka sudah berjanji untuk mengakhiri ini dengan lapang hati, dengan hati yang ikhlas karena sejak awal sudah sadar akan konsekuensi.
Kendra meraih pipi gadis itu dalam tangkupan tangannya, “Semoga kamu bisa bahagia meski kita udah nggak sama-sama ya, Di.”
Diandra ikut meletakkan tangannya di atas tangan Kendra yang berada di pipinya kemudian mengangguk, sebisa mungkin menahan air matanya yang mendesak ingin keluar.
“Jangan nangis, Diandra.” Jemari lelaki itu mengusap bulir air mata yang berhasil lolos dari netra sang gadis.
“I’m still your friend, Kendra, after all. Kalau kamu butuh seseorang, you know where to call me, right?” Diandra lagi-lagi mengangguk sebagai jawaban.
“Maafin aku udah janji buat nggak nangis tapi nggak bisa…”
Lelaki itu tersenyum, “It’s okay, Di. Kamu kan emang boncel cengeng dari dulu.”
“Kendra, ih!” Entah sudah keberapa kalinya lelaki itu menerima pukulan di bahu dari Diandra malam ini. Tetapi ia hanya terkekeh, membiarkan gadis itu melakukan sesuka hati padanya sebelum keadaan mereka tak lagi sama.
Karena sebenarnya ia tak bisa menjamin apakah mereka bisa kembali menjadi sepasang teman seperti sedia kala tanpa memikirkan hati mereka yang sama-sama telah terluka.
Kendra melirik alroji di lengan kirinya, “Gue kayaknya harus pulang deh, Di”
Diandra mengangguk, lalu mengusap air matanya yang masih menggenang. Gadis itu mengikuti langkah Kendra yang sedang memunguti barangnya yang tersisa, memakai jaket dan meraih kunci mobil di atas meja.
Tapi sebelum meninggalkan pintu, lelaki itu berbalik, membuat gadis yang sedari tadi mengikutinya itu mengernyit, “Kenapa? Ada yang ketinggalan?”
“Hati gue yang ketinggalan.” Diandra memutar bola matanya malas sementara Kendra terkekeh.
“Boleh gue peluk lo, Di?”
Gadis itu tersenyum mengangguk, kemudian menyambut lelaki itu dalam dekapannya. Tangan Kendra mengelus pelan surai lembut gadis itu dan meletakkan dagunya di atas kepala Diandra.
“Jaga diri baik-baik ya, Di. Jangan lupa makan sama sholat.”
Dalam pelukannya ia bisa merasakkan anggukan Diandra sebelum gadis itu mengendurkan pelukan mereka, “Lo juga jangan skip gerejanya.”
Kendra tersenyum simpul, “Sekarang boleh nggak, gue cium kening lo?”
Diandra dibuat terkekeh atas permintaan Kendra barusan. Tapi ia tetap memberi anggukan setuju. “Iya, boleh.”
Lelaki itu memajukkan tubuhnya kemudian memberikan kecupan lembut di dahi Diandra. Lain dari biasanya, kecupan itu kini sarat akan keputusasaan serta pilu yang mereka rasakan. Perpisahan mereka yang tidak bisa dihindarkan, hubungan yang sudah mereka bangun selama dua tahun belakangan, kini terpaksa harus dipisahkan oleh keadaan.
“Gue sayang lo, Di.”
“Gue juga sayang sama lo, Kendra.”
Gadis itu menepuk bahu sang lelaki sebelum pergi, “Hati-hati di jalan ya, Ken.”
Kendra tersenyum mengangguk, “Will do. Take care.”
“You too.”
Dan setelah pintu apartemen Diandra tertutup, ketika Kendra sudah memasuki mobilnya di parkiran basement, yang tersisa hanyalah kehampaan di hati masing-masing mereka. Gadis itu duduk tersimpuh sambil menangis sendu, sementara sang lelaki membenamkan kepalanya pada kemudi dan menangis pilu.
Semuanya sudah berakhir.
Kini sudah tidak ada kata kita lagi di antara Kendra dan Diandra
Semuanya sudah usai, kisah mereka sudah selesai, tragis sampai disini.